Kamis, 09 Agustus 2012

HUKUM PENUKARAN UANG RECEH




Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya penukaran uang pecahan yang biasa kita jumpai di jalan-jalan?
Yang mana apabila kita menukarkan uang lembaran seratus ribu rupiah misalnya, maka kita akan mendapatkan uang pecahan akan tetapi nominalnya telah dikurangi, semisal menjadi sembilan puluh enam atau sembilan puluh tujuh ribu rupiah?

Jawaban :

Bismillah, di dalam syari’ah penukaran antar barang yang sejenis haruslah dilakukan dengan jumlah atau berat yang sama. Semisal emas lima gram, harus ditukar dengan emas lima gram pula dan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan. Karena apabila kita melebihkan misalnya dengan menukar emas lima gram dengan emas tujuh gram, maka hal ini terhitung sebagai riba.

Rasulullah bersabda:


"الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد ، فمن زاد أو استزاد فقد أربى ، الاخذ والمعطي سواء" (رواه البخاري و أحمد)


“Emas (bila ditukar) dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam, harus sama takarannya dan harus dilakukan secara kontan. Barangsiapa yang menambah atau minta ditambah (takarannya) maka sungguh dia telah melakukan riba. Baik yang mengambil maupun yang memberikan sama saja.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Riba terbagi menjadi dua, yang pertama adalah riba nasiiah dan yang kedua adalah riba fadhl. Riba nasiiah adalah tambahan yang disepakati (dalam akad) yang diambil oleh seorang pemberi hutang dari seorang penghutang sebagai ganti penundaan pembayaran , atau dalam bahasa kita yang kita kenal dengan bunga.

Adapun riba fadhl yaitu, menjual (atau menukar) uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan tambahan (dalam takarannya) , dan hukum riba ini sebagaimana hukum riba nasiiah yaitu diharamkan. Semisal menukar beras lima kilo dengan kualitas A dengan beras tujuh kilo dengan kualitas B. Akan tetapi bila beras ditukarkan dengan gandum atau dengan gula misalnya, maka takarannya diperbolehkan untuk berbeda.

Rasulullah mengingatkan dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri, “Janganlah kamu menukar satu dirham dengan dua dirham, jangan pula menukar satu sha’  (makanan) dengan dua sha’ (makanan yang sejenis)! Karena sesungguhnya aku takut apabila kamu terkena riba.” (HR. Ahmad)

Dan Allah Ta’ala berfirman, {Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa daripada riba apabila kamu memang benar-benar orang yang beriman. Apabila kamu tidak melaksanakan (perintah ini) maka umumkanlah peperangan (antara dirimu) dengan Allah dan Rasul-Nya..} (QS. Al-Baqarah: 278-279)

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa penukaran uang sebagaimana yang banyak kita jumpai di jalan-jalan termasuk ke dalam riba fadhl, karena jumlah mata uang rupiah yang ditukarkan berbeda. Saat si penukar memberikan selembar uang seratus ribu dia hanya mendapatkan uang sebesar sembilan puluh ribuan saja.

Adapun cara yang dibolehkan dalam penukaran uang adalah apabila akad yang digunakan merupakan akad jasa penukaran. Apa itu akad jasa penukaran? Yaitu kita menukarkan uang besar dengan uang pecahan, lalu kita memberikan upah atau imbalan jasa kepada penyedia jasa penukaran tersebut.

Semisal kita menukarkan seratus ribu dengan dua puluh lembar uang lima ribuan, lalu setelah penukaran itu kita memberikan upah jasa penukarannya dengan besaran yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Lalu apa bedanya dengan sistem penukaran diatas dengan penukaran langsung yang terkatagorikan sebagai riba fadhl? Bedanya adalah pada akad dan tata caranya. Apabila yang pertama (yang diharamkan) hanya dilakukan dengan satu transaksi yaitu penukaran uang, maka transaksi kedua (yang diperbolehkan) itu dilakukan dengan dua transaksi, yang pertama adalah penukaran uang dan yang kedua adalah pembayaran jasa penukaran dengan besaran yang telah disepakati kedua belah pihak.
Semoga bermanfaat.. Wallahu a’lam bis shawab...

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites