Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya
penukaran uang pecahan yang biasa kita jumpai di jalan-jalan?
Yang mana
apabila kita menukarkan uang lembaran seratus ribu rupiah misalnya, maka
kita akan mendapatkan uang pecahan akan tetapi nominalnya telah
dikurangi, semisal menjadi sembilan puluh enam atau sembilan puluh tujuh
ribu rupiah?
Jawaban :
Bismillah,
di dalam syari’ah penukaran antar barang yang sejenis haruslah
dilakukan dengan jumlah atau berat yang sama. Semisal emas lima gram,
harus ditukar dengan emas lima gram pula dan tidak boleh dikurangi atau
dilebihkan. Karena apabila kita melebihkan misalnya dengan menukar emas
lima gram dengan emas tujuh gram, maka hal ini terhitung sebagai riba.
Rasulullah bersabda:
"الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد ، فمن زاد أو استزاد فقد أربى ، الاخذ والمعطي سواء" (رواه البخاري و أحمد)
“Emas
(bila ditukar) dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
garam dengan garam, harus sama takarannya dan harus dilakukan secara
kontan. Barangsiapa yang menambah atau minta ditambah (takarannya) maka
sungguh dia telah melakukan riba. Baik yang mengambil maupun yang
memberikan sama saja.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Riba
terbagi menjadi dua, yang pertama adalah riba nasiiah dan yang kedua
adalah riba fadhl. Riba nasiiah adalah tambahan yang disepakati (dalam
akad) yang diambil oleh seorang pemberi hutang dari seorang penghutang
sebagai ganti penundaan pembayaran , atau dalam bahasa kita yang kita
kenal dengan bunga.
Adapun riba fadhl yaitu, menjual (atau
menukar) uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan tambahan
(dalam takarannya) , dan hukum riba ini sebagaimana hukum riba nasiiah
yaitu diharamkan. Semisal menukar beras lima kilo dengan kualitas A
dengan beras tujuh kilo dengan kualitas B. Akan tetapi bila beras
ditukarkan dengan gandum atau dengan gula misalnya, maka takarannya
diperbolehkan untuk berbeda.
Rasulullah mengingatkan dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri,
“Janganlah kamu menukar satu dirham dengan dua dirham, jangan pula
menukar satu sha’ (makanan) dengan dua sha’ (makanan yang sejenis)!
Karena sesungguhnya aku takut apabila kamu terkena riba.” (HR. Ahmad)
Dan Allah Ta’ala berfirman, {Wahai
orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa daripada riba apabila kamu memang benar-benar orang yang beriman.
Apabila kamu tidak melaksanakan (perintah ini) maka umumkanlah
peperangan (antara dirimu) dengan Allah dan Rasul-Nya..} (QS. Al-Baqarah: 278-279)
Dari
sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa penukaran uang sebagaimana
yang banyak kita jumpai di jalan-jalan termasuk ke dalam riba fadhl,
karena jumlah mata uang rupiah yang ditukarkan berbeda. Saat si penukar
memberikan selembar uang seratus ribu dia hanya mendapatkan uang sebesar
sembilan puluh ribuan saja.
Adapun cara yang dibolehkan
dalam penukaran uang adalah apabila akad yang digunakan merupakan akad
jasa penukaran. Apa itu akad jasa penukaran? Yaitu kita menukarkan uang
besar dengan uang pecahan, lalu kita memberikan upah atau imbalan jasa
kepada penyedia jasa penukaran tersebut.
Semisal kita
menukarkan seratus ribu dengan dua puluh lembar uang lima ribuan, lalu
setelah penukaran itu kita memberikan upah jasa penukarannya dengan
besaran yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Lalu apa
bedanya dengan sistem penukaran diatas dengan penukaran langsung yang
terkatagorikan sebagai riba fadhl? Bedanya adalah pada akad dan tata
caranya. Apabila yang pertama (yang diharamkan) hanya dilakukan dengan
satu transaksi yaitu penukaran uang, maka transaksi kedua (yang
diperbolehkan) itu dilakukan dengan dua transaksi, yang pertama adalah
penukaran uang dan yang kedua adalah pembayaran jasa penukaran dengan
besaran yang telah disepakati kedua belah pihak.
Semoga bermanfaat.. Wallahu a’lam bis shawab...
0 comments:
Posting Komentar